Sunday, March 19, 2017

Handmade Nottingham Market and My Personal Views on Art and Creativity

My casual weekend outing for today goes to Handmade Nottingham Market in The Malt Cross. Actually I had been to several similar events before in Nottingham. But seems like there are always something new. Again, I feel endlessly lucky to live in a place where art is widely appreciated.


 Stalls in a cafe? Not a bad idea at all

Unlike the usual handmade products exhibition that I had attended before, this event is held in one of the most prestigious cafe in Nottingham. Whereas normally people use common spaces like convention centre, park, mall or gallery to have it.

Numerous local entrepreneurs participate in this handmade market indicates that the creativity is well supported by the government and local community. I personally adore how people appreciate handmade products here. It feels like there are always special spaces for creative persons to express their taste of art.


  • Speaking of creativity, it usually roots from the early stage of human life - childhood. People from places where art is seen as something taboo would think that nobody is going to make a living out of it. As the result, art passionate children are forced to limit their imagination just after the parents acknowledge their talent. It's very sad to know that many creative persons waste their talent to grow up working in the areas that don't allow them to explore their true passions

    Many need to know that art/creativity is not always in a form of painting or small acoustic gig. In fact, the application of art is just beyond that. Professionals like architects, fashion designers, composers, animators, interior designers, actors are the proofs that artists transform to different kind of professions


    • In our daily life, it is very clearly shown that we can never live separately from creativity. Even global companies like Google and Apple demand highly creative employees. Creativity leads to better problem solving, creation of brilliant innovation, and good state of mental health. So, isn't creativity a big deal?

      It can take my whole life to talk about this topic (well, not entirely 😅). Mostly because rejection has been part of my personal experience. I am still trying my best to channeling my own passion into something meaningful not just for me but also the people around me. To end this "another random thoughts" session, I can probably say that underestimating an art enthusiastic/creative individual is utterly shameful. Especially if we choose to be ignorant or tightly close our eyes from seeing the value of art and creativity.


    •  Outside of The Malt Cross

       


Sunday, February 5, 2017

Studi S2 (Part 3): Berburu Beasiswa LPDP (Seleksi Subtantif-Tes Wawancara)

Setelah beberapa waktu lalu rajin menulis soal pengalaman kuliah di luar negeri, alhamdulillah banyak respon positif yang saya terima. Tentu jadi kebahagiaan tersendiri bisa berkontribusi dalam kesuksesan orang lain. Saya jadi merasa segan dengan yang menanti-nanti tulisan terbaru saya, apalagi kemarin-kemarin sempat janji untuk rajin menulis hehe. So, here I am! Untuk tulisan kali ini, saya spesifikasikan soal pengalaman seleksi subtantif LPDP, terutama soal tes wawancara.

Tidak terasa sudah hampir setahun saya menerima kabar kelulusan beasiswa. Momen yang mengharukan bagi siapa saja yang menerima kabar gembira seperti ini. Semoga bagi yang sedang menanti, segera mendapatkan kabar gembira juga. Amin. Setelah diumumkan lulus tes administrasi (ceritanya bisa dibaca di sini), saya langsung menyusun strategi supaya bisa tampil prima saat tes subtantif. LPDP menyediakan beberapa lokasi tes yang bisa kita pilih. Saya sendiri memilih Jakarta sebagai lokasi tes karena mudah dijangkau dari Bangka. LPDP akan mengirimkan undangan seleksi bersama dengan jadwal dan lokasi tes. Lalu, bagaimana tipikal tes wawancara LPDP dan apa saja yang harus dipersiapkan? Berikut penjelasannya

Tes Wawancara
Tes yang satu ini biasanya yang paling bikin gundah gulana. Rasanya agak sulit untuk memberikan tips khusus dalam meleawati tes wawancara, karena sifatnya yang sangat personal. Tiap peserta tidak mendapatkan pertanyaan yang sama, bahkan interviewer-nya pun berbeda-beda. Sepengamatan saya, LPDP membagi beberapa meja wawancara sesuai dengan bidang perkuliahan yang akan diambil peserta. Interviewer terdiri atas 3 orang dengan latar belakang yang berbeda. Salah satu dari interviewer tersebut adalah psikolog, sedangkan yang lainnya adalah profesor atau dosen yang sudah lama berkecimpung di bidang masing-masing. Saya pada awalnya tidak menyadari yang mana psikolog dan akademisi. Tapi lama kelamaan saya tau dari pola pertanyaan mereka. Tugas mereka adalah mengorek sebanyak-banyaknya informasi tentang kepribadian kita, pendidikan, pengalaman, motivasi kuliah, dan hal lain yang berhubungan dengan beasiswa dan  latar belakang kita.

Durasi wawancara tiap peserta juga sangat bervariasi. Sesi wawancara saya cukup singkat (sekitar 15 menit) jika dibandingkan dengan peserta lain yang bisa sampai setengah jam ataupun lebih. Setelah keluar dari ruang wawancara, saya merasa aneh karena tidak selama yang lain, saya kuatir pewawancara tidak mengenal saya sepenuhnya hehe. Sebetulnya, lamanya wawancara somehow ditentukan oleh kita sendiri. Sejauh mana kita membatasi dan memberikan informasi kepada interviewer. Ada yang memberikan jawaban panjang lebar untuk pertanyaan yang sangat singkat, hingga membuat interviewer gesit menanyakan hal-hal di luar dugaan kita. Ada juga yang memberikan jawaban terlalu singkat sehingga kita tidak bisa memuaskan ekspektasi mereka. Very tricky right?

Ekspresi peserta setelah wawancara juga berbeda-beda. Ada yang tersenyum lebar karena merasa lega telah melakukan yang terbaik, ada juga yang menangis karena "terjebak perangkap" si penanya. Pihak LPDP tentunya ingin mengetahui seluk beluk peserta dari berbagai aspek termasuk psikologis. Tidak mungkin kita diterima kuliah ke luar negeri jika secara mental kita masih lemah, mudah terpengaruh dengan hal buruk, atau bahkan mengancam kerugian dari pihak LPDP. Oleh karena itu saat wawancara, kita dites betul-betul melalui pertanyaan-pertanyaan yang tanpa disadari membuat kita down. Hal sensitif seperti family issue dan kegagalan di masa lalu yang biasanya diangkat oleh interviewer. Tapi hal ini bisa disiasati lho. Menurut saya, kita harus membatasi interviewer menggali sisi sensitif kita dengan menceritakan hal-hal yang seperlunya saja, yang penting tetap jujur dan humble. Nggak perlu cengeng ya :D

Tidak hanya dari sisi psikologis yang diuji, interviewer biasanya membaca semua informasi yang telah kita kumpulkan saat seleksi administrasi. Oleh karena itu sangat penting untuk membaca ulang secara detail, apa saja yang telah kita tuliskan di sana. Persiapkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang akan ditanyakan interviewer seperti:
  1. Alasan kuliah
  2. Alasan ikut tes beasiswa LPDP
  3. Pilihan kampus dan jurusan, relevansinya dengan latar belakang S1
  4. Kalau mau lanjut kuliah di luar negeri, kenapa harus di negara tersebut
  5. Status Letter of Acceptance/LoA (sudah dapat LoA unconditional atau belum, kalau belum apa alasannya)
  6. Modul dan research apa yang akan diambil (dulu saya hapalkan satu-satu pilihan studi yang saya tulis di Study Plan)
  7. Apa saja yang sudah dipersiapkan untuk kampus tujuan (sudah korespondensi dengan calon dosen pembimbing atau belum)
  8. Kegiatan ekstrakulikuler apa saja yang akan dilakukan di luar kesibukan kuliah
  9. Ilmu apa yang mau dibawa pulang dan diaplikasikan di Indonesia
  10. Rencana pasca kuliah 
  11. Kontribusi apa saja yang sudah dilakukan yang berkaitan dengan bidang yang diambil
  12. Kesulitan apa yang kira-kira akan dihadapi saat menempuh studi, bagaimana cara mengatasinya
Di samping pertanyaan umum seperti di atas, kadang ada pertanyaan sampingan yang signifikan dan kadang juga ada yang agak nyeleneh, misalnya:
  1. IP kamu cuma segini, yakin bisa lulus?
  2. Kamu studi terus, kapan nikanya?
  3. Yakin akan kembali ke Indonesia setelah lulus? Kalau nanti nikah sama bule dan diminta stay di negara mereka gimana?
  4. Jurusan itu di Indonesia juga ada lho, kenapa harus kuliah di luar negeri?
  5. Sudah lama bekerja di perusahaan asing pasti gajinya gede ya, ga takut harus berhenti kerja hanya untuk kuliah lagi?
  6. (Bagi yang sudah berkeluarga) Nanti anak dan istri akan diajak juga?
  7. Apa rencanamu 10 tahun ke depan?
Jangan kuatir, yang saya tuliskan di atas bukan template pertanyaan yang selalu ditanyakan interviewer. Itu hanya berdasarkan pengalaman saya dan teman-teman saya yang menempuh proses seleksi wawancara. Bisa jadi teman-teman mendapatkan pertanyaan lain.  Beberapa dari interviewer bahkan sangat akrab dengan kampus dan negara tujuan kuliah kita, untuk mewaspadainya kita harus melakukan comprehensive research. Selain gesit mencari informasi, ada baiknya juga kita membawa bukti-bukti tertentu yang bisa meyakinkan mereka. Bisa berupa previous research and publication, print-screen email dengan calon dosen di universitas tujuan, informasi soal perkembangan LoA, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar interviewer tahu that we are very determined to further our study.

In my case, saya membawa portfolio pekerjaan saya. Isinya dokumentasi bisnis, business profile, dan kegiatan sosial yang saya lakukan sebagai bentuk CSR bisnis yang saya geluti. Saya bahkan rela membawa langsung sample produk dan menceritakan fungsinya kepada lingkungan sosial. Saya juga menjelaskan kenapa belajar di UoN akan menambah ilmu saya di masa mendatang. Banyak yang juga menginginkan kuliah di jurusan wirausaha seperti saya namun belum pernah bergelut dalam bidang itu sehingga sulit bagi mereka untuk memperlihatkan bukti-bukti tersebut. Mungkin bisa disiasati dengan membuat simple business plan dan background research soal business tersebut (apakah feasible untuk diterapkan setelah lulus kuliah).

Hal yang paling ditakuti lainnya adalah soal bahasa yang digunakan saat wawancara. Saya tidak bisa memastikan apakah wawancara akan di-deliver dalam bahasa Indonesia atau English. Karena saya sendiri 100% ditanyakan menggunakan bahasa Indonesia. Walau saya juga menyisipkan berbahasa Inggris di tengah-tengah wawancara agar interviewer tahu kemampuan bahasa saya. Di kasus lain bahkan ada peserta yang ditanyakan menggunakan English dari awal hingga akhir wawancara, ada juga yang cuma sebagian. Interviewer biasanya akan mengecek hasil TOEFL atau IELTS yang kita sisipkan. Jika hasilnya kurang memuaskan, itu akan jadi bahan pertanyaan mereka. Then we should answer it smartly :)

Tes wawancara ini sangat berpengaruh dalam keseluruhan tes subtantif karena porsi penilaiannya yang tinggi dibandingkan dengan On The Spot Essay Writing dan Leaderless Group Discussion. Tapi jangan kuatir, selagi kita mempersiapkan dengan sebaik mungkin pasti akan dipermudah. Jangan lupa menjaga kesehatan sebelum "bertanding". Berpikiran tenang juga sangat membantu kita menjawab pertanyaan sang penanya. Be ready for any worst circumstances without too much worrying of how we are going to pass it. Lastly, jangan lupa untuk tetap rendah hati. Sebanyak apapun prestasi dan pengalaman yang kita punya, sehebat apapun rencana yang kita buat akan sia-sia kalau kita menunjukkan kesombongan di depan interviewer. Kita datang ke proses seleksi ini untuk "memohon" pihak LPDP membantu merealisasikan mimpi kita, so yeah better be humble. Jangan lupa berdoa juga ya :)

I don't have any photos related to the interview session. Instead, here is a current picture of me in Wollaton Hall and Deer Park, Nottingham. Musim dingin di sini sangat gloomy, matahari jarang tampak. Tapi kemarin langit sangat cerah, jadi saya keluar rumah untuk menikmati pemandangan di sana. Hope you enjoy the rest of my pictures below :)






Tuesday, November 15, 2016

Entrepreneurship and Creativity Theoretical Learning Experience

Few weeks ago I promised my friends to share our study experience in University of Nottingham (UoN). It is definitely a whole different study experience for me here compared to my previous ones. I don't know if it's just my mood, the cultures that shapes the people's personality and way of thinking, the study environment, or the lecturers who are very great at delivering their modules. But for sure, It just takes me to another new level! Kinda funny because somehow it always drives my excitement to wake up in the morning to receive new knowledge. When things are really exciting and steal my focus, I barely jump into my phone. It's an excellent indication I supposed. Except for the part when I don't have enough sleep at night and get very sleepy in the class. LOL. But I can tackle this issue very easily. Thanks for the nearby coffee shop for making me befriends with coffee. XD

My main purpose of writing this is to share my study experience in Entrepreneurship and Creativity module. It is the first module taught in autumn semester. In my opinion, it was indeed a very important yet interesting module for me to deepen my basic understanding about entrepreneurship and creativity. In this module, we were given 2 assignments. The first one is individual reflective essay writing which basically asks us to evaluate all the things that have been taught in the class, including the theoretical and practical knowledge, frameworks used to deliver the knowledge, group work experience, etc. Meanwhile the second assignment is group assignment which allows us to implement all the theoretical learning experience into practice. It's kinda similar with group business challenge. However, this post will firstly cover my personal understanding of entrepreneurship and creativity in regards with my study experience in class, some reading materials and various entrepreneurship talks.
A little glimpse of my current artworks and some reading materials

The first class of this module was started with an introduction about entrepreneurship. We were asked to list down our own definition of entrepreneurship. Some mentioned about characteristics and skills needed by an entrepreneur like risk taker, problem solver, adaptive, opportunistic, proactive, and so on. All of these are actually very critical to becoming a successful entrepreneur. There are variant definitions of entrepreneurship described by the scholars depending on the time period (because entrepreneurship has been gradually developed since the establishment of agriculture era until now). In a nutshell, entrepreneurship is defined as a process practiced by a person by discovering opportunities. Unlike the normal people, entrepreneurs take opportunities into different level. Entrepreneur is interpreted as a person who is alert to the market opportunity and come up with creative ideas and then turn them into business. However it is very important for an entrepreneur to exercise entrepreneurial skills in order to gain maximum profit.

I was very fascinated by the theory of intellectual capital introduced by my lecturer. It consists of human capital, social capital, and organizational capital. The effectiveness of a business’ organizational management is depending on maximizing the use of them. Human capital is the knowledge and skills (intangible assets) of an entrepreneur which has big potential to exploit financial capital (the tangible assets). Development of human capital increases the capability of a business to generate profit. As an entrepreneur, sometimes I worry if my entrepreneurial skills is very lacking to develop my ideas and business. In fact, it is not the only thing I should think of. We should not forget the significance of human interaction in the social life, because networking is also very crucial to our business. Social capital enables human capital to realize its potential, besides it also helps entrepreneurs to generate conducive market environment and widen their market coverage. OK, now it starts to sound very serious haha.

To be honest, I am always enthusiastic to learn about human psychology. And this module somehow drives me even more crazily. Do you know that everyone has different nature on processing knowledge and solving a problem? Since we were given a group project (business challenge assignment), we should be divided into groups. In the group formation process, Mr. Chris Mahon divided us into groups based on the result of Human Brain Dominance Instrument (HBDI) test. It's some kinda psychological instrument used to identify our thinking preference. By taking this test, I get to know what my profile is and what skills I need to enhance in regards with entrepreneurship. In the group, we all have different HBDI profiles, however this diversity helps us to comprehend each other's strengths and weaknesses. I was in the group with people whom I got to learn a lot from. Each of them has unique personality, education background and professional experience. I even learned how to embrace multiculturalism in this short period of time. How cool that is! :) 

In term of defining creativity, people also have different way of defining it. In simple term, creativity is the process of bringing up ideas into use. According to Mark A. Runco, it is correlated with intelligence, imagination, originality, and effectiveness. Intelligence encourages a person’s creativity. Due to the concept of radical innovation, originality plays huge contribution and hard to separate from creativity because creative things are always original. Moreover, original things must be effective to be creative. It takes the form of usefulness in an innovation. This effectiveness must also consider the fact that valuable products and ideas depending on what the market needs.

In accordance with radical innovation, we often discussed about Joseph Schumpeter's idea of radical innovation in the class. He appeared with an extraordinary theory of entrepreneurship. He pointed out the significant role of entrepreneurs in economic development and the emergence of radical innovation as creative destruction. Schumpeter also defined entrepreneur as an innovator who brings radical changes through the introduction of new technological process or product. He valued the novelty of an innovation as genuine outcome of radical innovation. If it’s hard for you to get the meaning of radical innovation, we can take an example of the emergence of Media Player (as if MP3) which totally replaced the used of Compact Disc (CD). This technology is considered very radical since it provides a whole different experience of listening to music compare to CD. It also changed the culture of people listening to music. The originality of this radical innovation enables us to add as many music collections as we want in the form of soft files (this easiness is original and never existed before). Therefore we don't have to worry carrying a lot of CDs to listen to variant songs. 

The emergence of radical innovation is a result of lateral thinking. Lateral thinking is almost the same with the concept of thinking out of the box. As a decision maker, entrepreneurs are required to see things from different angles. Besides, it allows us to be flexible and explorative by solving problems with different perceptions, patterns, and methods. I found the concept of lateral thinking is similar with divergent thinking which involves generating multiple alternative solutions and unexpected combinations. Divergent thinking is very important because of its tendency to produce novel ideas. Meanwhile convergent thinking is more oriented to single best answer, emphasize on the accurancy, speed and logic. 

I recently read a book entitled “Oh My Goodness: A Personal Guide to become Creative Junkies” written by Indonesian author, Yoris Sebastian. I can’t give full review to this book because I haven’t finished reading it. At my first glance, I can tell that this book is like one of those anti-mainstream books (it’s written in both English and Bahasa Indonesia, plus the design is simply fresh yet eye catchy). It helps us to brainstorm and enhance our creativity. I found some similarities from how he elaborated things in his book with what I learn in campus, especially the part where he encouraged the reader to “Push the Limit”. Mr. Chris Mahon mentioned this phrase several times in class. One of the best quotes I get inspired from to realize it in my real life. Ah, can’t wait to finish reading this book. For my Indonesian friends, I suggest you to read the english version of this book. Don’t worry about the language, because it’s easy to understand. I bet you’ll learn a lot, hehe. KEEP PUSHING YOUR LIMIT!! 

Another important aspect in entrepreneurship that I want to highlight here is opportunity recognition. What makes entrepreneurs different is the ability to recognize the gap occurred in our surroundings, inspect the behaviour within many factors (economy, social, political,  technological advances, etc.). As problem solvers, entrepreneurs tend to see problems in their society as their opportunities by providing the solutions. That’s why entrepreneurs are seen to be the key of economic development. Besides creating job opportunities to a lot of people, entrepreneurs encourage the establishment of innovations used to ease our life.  

So, that’s some bits of my learning experience. It’s an absolute recommendation for you to learn from other resources like read a lot of inspiring books, watch several motivational talks from the internet, and/or come to entrepreneurship seminars/conference to enrich your knowledge. Mark Wright (The Apprentice winner), who is a dyslexic once said “If you wanna earn more, you’ve got to learn more. When people leave formal education, on average they read one book for the rest of their life. While the CEOs of the Fortune 500 companies on average read one book per week”. Despite of his learning difficulties, Mark does not stop pursuing his dreams and keep learning by listening to audio books in any chance that he can get. Here is a bonus for you all, a (half) documentation of his talk during Nottingham Entrepreneurs Conference.


Special credits to my lecturers; Mr. Chris Mahon, MBA, Dr. Chris Carter, Prof Simon Mosey, and Mr. Paul Kirkham

Friday, September 30, 2016

My View on Ika Natassa's Books


Di tengah-tengah keharusan membaca segudang buku rekomendasi dari dosen, saya masih sulit move on dari segelintir buku Ika Natassa. Suatu accomplishment yang besar untuk seorang pemalas seperti saya bisa membaca 4 bukunya dalam jangka waktu setahun. Ada banyak point yang menggoda saya untuk berkontemplasi. Ah, paling sedap kalau berkontemplasi ditemani album Continuum-nya John Mayer yang syahdu membiru itu. Buku-buku Mbak Ika sangat membantu saya menjalankan New Year Resolution (harus selesai baca 20 buku dalam setahun, lulus setengahnya saja sudah bersyukur) dan menjawab sindiran Mbak Najwa Shihab tentang betapa menyedihkannya reading habit rate di Indonesia (saya malu jadi penyumbang peringkat rendah Indonesia dalam hal ini).

Saya tidak pandai memberikan review tentang buku yang saya baca, what I am trying to highlight here are my personal and general views about the story line from each book. Sejauh ini saya sudah membaca Critical Eleven, Architecture of Love, A Very Yuppy Wedding, dan Divortiare (on going reading: Twivortiare). Semua metropop karya Mbak Ika yang sudah saya baca had successfully playing with my mood rhythm. Beliau sangat cerdas mengulas tiap problema serta menaikrendahkan perasaan orang yang membacanya. Saya paling geram kalau menonton film dan membaca buku yang buat saya mikir panjang. Eventually, di situlah kualitasnya. Artinya yang di belakang layar dari masterpieces tersebut adalah orang-orang cerdas!

Semua yang ditawarkan dalam buku Mbak Ika memang soal permasalahan relationship. Tapi kekhasan yang paling kental saya observe adalah caranya melakonkan pribadi masing-masing peran. Seperti egoisnya perempuan yang minta laki-laki ambil sikap, dan how innocent a guy can be alias nggak peka. Mbak Ika sangat tahu ini masalah pokok di antara makhluk Mars dan Venus, tapi dia selalu apik memposisikan karakter tokohnya dalam cerita yang berbeda.

Dari hangatnya cerita cinta Andrea dan Adjie yang harus kucing-kucingan pacaran karena takut ketahuan boss mereka, sering juga saya mencak-mencak karena kesal betapa immature-nya Andrea bersikap. Tapi bukannya itu realita dari kebanyakan potret wanita yang ingin di-treat lelakinya dengan penuh perhatian? Tidak jauh beda dengan kisahnya Ale dan Anya yang rumah tangganya getir karena kalimat menyakitkan Ale ke Anya. Padahal, menarik banget awal mula mereka bisa bertemu di pesawat. Belum lagi cerita Alexandra dan Beno yang dingin. Sebenci-bencinya Alex terhadap mantan suaminya, move on itu terlalu sulit. Karena bukan kehadiran orang yang kita cintai yang paling dirindukan, tapi momen-momen sederhana yang tidak bisa hadir lagi. Lain lagi dengan cerita Raia dan River yang menggambarkan  sisi fragile tiap orang yang susah disembuhkan jikalau tidak berkeinginan untuk memaafkan kenyataan dan berusaha menyembuhkan satu sama lain.

Saya sering teracuni saat membaca pembelajaran yang dihidangkan di buku-buku tersebut. Yang paling saya suka adalah soal Counterfactual Thinking di novel Architecture of Love. We tend to create possible alternatives for what already happened in our lives. It's like endless hoping. We love to use the word "what if" for the things we kinda regret in the past. But it's useless. We couldn't help it, could we? The past was the past.

Ada juga yang saya pelajari dari A Very Yuppy Wedding: hiding is ridiculously complicated, and trust is built with a strong communication and transparency between the two. Konflik di antara Andrea dan Adjie mungkin bisa diminimalisir jika ada tendency untuk saling memberi dan memaafkan.

Mbak Ika sering mem-pinpoint -kan bahwa komunikasi adalah hal sakral dalam menjalin sebuah hubungan. Karena dari situlah terjalin rasa percaya. Besides, meminta diperlakukan sempurna saat tahu bahwa tidak ada yang sempurna adalah salah telak. Misalkan saja, meminta lelaki untuk peka itu bagaikan air susu dibalas dengan air tuba. Eh salah pribahasa wkwkw. Maksud saya, bagaikan punguk merindukan bulan, alias mustahil terjadi. Makanya perempuan harus mengerti dan berusaha memg-comprehend-kan hal itu. Bukannya kita diciptakan untuk saling melengkapi kekurangan satu sama lain? (Eaaak).

Dari novel Divortiare, yang saya petik adalah bahwa perpisahan tidak selalu bisa mengobati suatu masalah. Bahkan bisa timbul masalah baru yang sulit kita deal with, yaitu move on. Kita kadang terjebak dalam situasi yang memicu perpisahan. Padahal cinta jauh lebih besar daripada kesiapan kita untuk hilang dari bagian hidup satu sama lain.

Dari segelintir buku kurang ajar ini (please excuse my French wkwkw), saya berkonklusi bahwa cinta adalah sebuah kata kerja dan membutuhkan aksi nyata agar tetap langgeng. Relationship is the matter of giving your unlimited efforts to make the person you love happy. If you love the right person, you will get it in return. Please jangan tanya kapan saya bisa mengimplementasikan ini semua, karena yang penting saya sudah banyak bawa bekal dari buku-buku ini. When the right time finally comes I'll make sure that man will be the luckiest, hehe. Terima kasih Mbak Ika Natassa atas pesan-pesan berharganya, will definitely grab the rest of your books once I get back home.
Love presents along with vulnerability as its side effect. Yups, sometimes it doesn't make any sense at all. But I hardly take the love story which doesn't matter with the distance and only show meaningless effort from the two to be there for each other. Because for me, loving is a strong willingness to share mutual understanding by giving unlimited support. 

Sunday, September 25, 2016

A Little Glimpse of My Journey to England

Dalam suatu kompetisi bernyanyi, saya pernah berduet dengan sahabat saya Fajri menyanyikan lagu "A Whole New Wolrd" (sountrack film Aladin). Persis seperti liriknya "Unbelievable sights. Indescribable feeling", itulah yang sedang saya rasakan sekarang. Sudah lebih dari 2 minggu ini saya berada di a whole new different place called United Kingdom atau Inggris. Alhamdulillah, terbayar sudah mimpi yang pernah saya tuliskan di buku mimpi saya. Walaupun buku itu sempat saya tinggalkan karena tidak menerima kenyataan bahwa mimpi saya untuk pergi ke Kanada lewat PPAN kandas tahun lalu. But guess what? God has BETTER PLAN.

Beberapa waktu sebelum keberangkatan, saya dilanda emotional crisis. Saya bergulat dengan banyak sekali conflicted feelings sehingga harus merelakan bobot badan menyusut (sampai di UK langsung tembem lagi dong haha). Ada banyak hal yang membuat saya khawatir, sehingga lupa bahagia dan sering kebingungan. Sama kebingungannya ketika saya berada di pesawat dari Pangkalpinang menuju Jakarta. Sampai-sampai bapak-bapak di pinggir saya menoleh karena merasa aneh melihat badan saya stiff menatap monitor TV pesawat tanpa ekspresi dalam waktu yang lama. Saya bingung, kenapa saya di bandara tidak nampak emosional saat keluarga dan pacar menangis sendu mengantarkan saya. Oke, part yang pacar itu tidak benar adanya, wkwkwk. Perasaan aneh ini saya ajak tidur sampai tiba di Schipol Airport, Amsterdam untuk transit.

Bersama Bayu dan Ak Cecep di depan Trent Building, University of Nottingham

That Overwhelming Moment
The minute I saw the "Schipol Airport" sign from the airplane window during my transit in Amsterdam, I secretly whispered to myself, "Tanah Eropa, ya Allah. Tak ada pantas-pantasnya hamba dihadiahkan ini. Hamba selalu lupa bersyukur."
Itu adalah titik di mana saya ingat hal-hal sedih dan perjuangan yang saya lakukan yang sebetulnya masih jauh dari layak untuk dihadiahkan kebahagiaan seperti ini. Di detik itu pula saya ingat buku karya Pak Cik Ikal, 'Edensor' yang menceritakan tentang kisah anak melayu yang menuntut ilmu di tanah eropa. Saya juga mengingat betapa saya mengurungkan rasa excited berlebihan ketika menerima berita gembira kelulusan LPDP. Saya membatasi mencari tahu tentang hal menarik di Inggris, saya juga tidak begitu peduli dengan hal-hal penting yang harus saya comply di kampus University of Nottingham, bahkan saya tidak terlalu excited untuk packing sebelum berangkat. Bukan tanpa alasan saya mengurung rasa excited itu. Sebab, setelah gagal ke Kanada saya belajar bahwa life will be more deliberately exciting kalau saya tidak berlebihan dalam menanggapi suatu keberhasilan dan let life surprises us in the way we cant ever imagine. And now, see? I cry so joyfully meaningful saking bahagianya tidak berkespektasi tinggi hehehe. Eh, tapi dengan catatan ya, bahwa hidup itu tidak pasti, jadi kita harus terus berencana dan berjuang. Bukan menjalaninya dengan seenak perut wae, hehe.

Another overwhelming moment yang selalu bikin geli dan terharu adalah culture shock. Di Bangka saking panasnya kalau saya main ke pantai sebentar saja sudah bikin kulit belang-belang. Sedangkan di Nottingham yang sedang menjelang auntumn, saya kaget dengan suhu sekitar 9-15°C. Suhu seperti ini bikin nafsu makan meningkat dan kalau stamina tidak kuat bisa kena demam. Ada banyak kejadian yang buat saya merasa katrok, seperti saat salah kostum (baju ketipisan saat suhu rendah, lalu saya mesti kabur ke Primark buat beli sweater dadakan) dan tidak paham dengan apa yang dibilang mbak-mbak cashier bule sewaktu belanja groceries karena accent Nottingham-nya yang kental. Tapi ada yang paling berkesan, yaitu saat saya dan Bayu (housemate) sore-sore pulang dari kampus, dan dia bilang,"Eh, nafas kita berasap!". Dengan kampungannya saya histeris bilang,"Eh, iya Bay. Berasa banget kita lagi di Europe, ya.". "Ya emang!" Tukasnya. Lalu saya tertawa heboh sambil nyebuh-nyebuh nafas sendiri hingga Bayu suruh saya ketawa pelan-pelan. Sepertinya habis ini Bayu akan malu jalan bareng saya. Hahaha.

Kebahagiaan yang Berasal dari Doa-Doa Kecil
Hari-hari pertama di Inggris saya habiskan di London bersama Fajri. Saya kembali teringat tahun lalu mengantarkannya dan Widya (sahabat sejak dari SMA) untuk studi di Inggris sambil menyelipkan doa iseng,"Doakan aku menyusul kalian, ya". Itu uniknya hidup, kebahagiaan yang tercapai dari doa-doa kecil.

Tahun-tahun sebelumnya saya gemar menyelipkan doa-doa kecil untuk bisa menginjakkan kaki di tanah eropa. Salah satunya adalah lewat janji dengan teman. Dulu saya dan beberapa orang teman di Malaysia berkeinginan untuk travelling bersama ke eropa pada tahun 2016. Saya agak keberatan karena saya rasa saya belum akan makmur untuk travelling dengan uang sendiri dalam kurun waktu yang singkat. Lalu saya bilang ke mereka,"Hm, I am not sure if I can go to Europe in 2 years time. Because maybe I won't be financially independent. But let's see, maybe I can meet you guys there while studying". Itu doa iseng yang kedua.

Doa iseng ketiga yang saya ingat adalah waktu saya berjumpa Chef Norman Musa (a famous Malaysian Chef) setahun lalu. Saya dikenalkan oleh Kak Dya (fans Chef Norman) yang meminta saya melukiskannya. Chef bilang kalau lukisan saya di-display-nya di restoran "Ning" miliknya di Manchester. Lalu saya berkeinginan kalau nanti saya akan pergi ke sana untuk berjumpa kembali dengan karya saya itu. Pulang dari bertemu dengannya, saya langsung cari informasi seputar S2 di Inggris.

---

Selama di Inggris, honestly saya sedikit meninggalkan beban-beban moral di Bangka untuk mensyukuri kehidupan baru dan berkontemplasi. Di sini saya jadi semakin mengakui kebenaran bahwa Tuhan tidak pernah berbohong dengan janji-janji-Nya. Semakin pula saya sadar bahwa berdoa adalah kewajiban yang harus saya jadikan habit. Sebab doa adalah hal termudah yang bisa kita lakukan dan akan selalu di dengar oleh-Nya. The answers of our prayers? It's just the matter of timing. Mungkin sekarang, nanti, atau digantikan dengan yang lebih baik.

Ada yang berpesan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh seseorang, maka semakin besar pula tanggung jawabnya. It's not going to be an easy journey. Tapi Tuhan telah menitipkan amanah ini, dan semoga saya sanggup mengembannya. Terima kasih untuk semua yang telah mendoakan dan mendukung saya. Semoga teman-teman yang membaca ini dan berkeinginan untuk studi lebih tinggi dimudahkan jalannya untuk segera mengemban amanah baru. Aammin.


Thursday, April 28, 2016

Kehilangan Barang saat Travelling

"Segala apapun yang ada di dunia ini hanyalah sementara dan merupakan titipan dari yang Maha Kuasa. Maka, jagalah titipan tersebut. Namun jika telah waktunya sang Maha Kuasa ingin mengambil kembali titipan itu, maka ikhlaskanlah."

Kalimat tersebut entah kenapa selalu terngiang-ngiang di kepala saya beberapa hari ini. Maybe it's a strong signal that I will loose something or someone. And yeah, it happened! AGAIN

Pada tanggal 15 Oktober 2015 lalu saya mendapatkan musibah yang lumayan berat namun ringan. Saya kehilangan sebuah ransel yang berisi laptop, kamera Nikon D 5100, passport, 2 buah handphone, dan perintilan lainnya yang lumayan penting seperti buku panduan hunting beasiswa dan kacamata (yang tanpanya semua objek di dunia ini tidak lagi tampak HD terutama umtuk seseorang bermata minus 5.00 seperti saya). In short, kehilangan itu terjadi di sebuah R n R (Rest and Relaxation) di area Negeri Sembilan, Malaysia. Saat itu saya sedang dalam perjalanan dari Singapore ke Kuala Lumpur dengan menggunakan bus. Kejadiannya lumayan cepat, saya meninggalkan tas tersebut di dalam bus karena harus ke kaunter handphone untuk memotong kartu provider Malaysia menjadi nano card. Asumsi saya tas tersebut akan aman-aman saja berada di sana (karena selama 5 tahun tinggal di Malaysia, saya tidak pernah kehilangan benda penting apapun). Saya cuma membawa handphone beserta dompet menuju kaunter tersebut. Sekembalinya ke bus, saya asyik online. Hingga satu jam kemudian, saat bus sudah meluncur menuju KL saya sadar bahwa tas saya hilang.

Sisa foto bersama ransel yang menyimpan banyak cerita

As a quite impulsive and expressive person, biasanya saya heboh. Tapi entah kenapa malam itu saya cuma bisa senyum-senyum tenang dan berpikiran positif kalau Tuhan akan membalas ini semua dengan kebaikan yang berlipat ganda kalau saya tidak banyak mengeluh dan terus tabah. Sampai-sampai Pak Polisi di Bangsar Police Station was looking at me with a pity and said,"Akak dah sholat ke belum? Surau ade kat atas.". Mungkin bapak itu tau kalau ketenangan batin yang paling mutlak adalah ketika saya mengembalikan semuanya kepada Tuhan.

Kenapa saya bilang itu termasuk ujian yang lumayan berat namun ringan? Berat karena saya punya banyak alasan untuk mengatakan itu berat. I was financially broke at that time because I was just developing my start-up business, laptop and camera are crucial gadgets that I always use in that business, and many other complicated reasons. Tetapi di atas semua cobaan itu, saya sadar bahwa sebetulnya ini adalah salah satu "kehilangan teringan" yang pernah saya alami. Ada yang aneh ketika saya tidak sedih berlebihan dan move on dengan saat cepat, mungkin karena aslinya saya orang yang lumayan emosional. Tadinya saya berpikir, apa iman saya lagi kuat? LOL. Yang saya expose saat itu bukanlah poin-poin material yang equal dengan kerugian besar, namun solusi dan perilaku apa yang harus saya ambil setelah itu. Di situ saya melihat kualitas baru yang bermunculan dalam diri saya. So, instead of being all sad and grumpy, I became more grateful, optimistic, evaluative and extra careful.

------

Perhaps, my extra carefulness is not yet matured. On 27 April 2016, saya kembali kehilangan sebuah handphone yang umurnya belum genap 1 tahun. Lagi-lagi kehati-hatian saya diuji saat sedang travelling. Di Botani Square Bogor saya yang susah lepas dari handphone tidak biasanya menaruhnya di sudut toilet. Waktu itu memang agak rieweh karena celana saya tidak memiliki kantong dan saya malas menaruh handphone tersebut ke dalam ransel. Kurang dari 5 menit setelah keluar dari toilet saya baru tersadar bahwa handphone saya tertinggal di sana. Dari situ saya sudah mencamkan dalam hati untuk ikhlas walaupun saya masih berusaha mencarinya dengan melihat record CCTV yang ada di mall tersebut. Ingin marah? Panik? Hm, I was,. Tapi lebih panikan teman saya yang heboh mondar-mandir mencari bantuan dan menanyakan if I am OK.

Ini bukan soal materi, karena kalau soal materi saya akan menangis siang malam sebab saya juga tidak punya banyak uang untuk membeli handphone baru. Setiap barang saya hilang, yang sebetulnya membuat saya merasa "lost" adalah memori berharga dengan barang tersebut, kegunaannya dalam membantu pekerjaan sehari-hari, hingga files yang tidak bisa saya miliki kembali. Karena jikalau gadget-nya yang hilang (walaupun bernilai cukup mahal), bisa dibeli kembali kalau ada rezeki. But we can't buy beautiful memories.

------

Sungguh banyak pelajaran yang saya ambil dari peristiwa ini. Dan ada beberapa hal yang ingin saya share dengan teman semua.

Setiap orang di dunia ini pasti punya sisi baik, but THEY NEED MONEY
Sometimes I have this silly thought that maybe by letting go the stolen belongings, I am actually transferring my "wealth" to the people who need it. Even though I know that stealing is never be a good excuse to "get rich". Tapi mungkin saya kurang bersedekah, dan pencurinya perlu uang. Di atas itu semua saya berdoa semoga baik saya dan pencuri barang-barang saya disejahterakan rezekinya oleh Tuhan. Aamiin. Tapi perlu diingat bahwa segala sesuatu yang dititipkan Tuhan untuk kita adalah hadiah yang berharga, maka berwaspadalah dan jagalah dengan sebaik mungkin. Jadi bukan berarti kita mesti pasrah-pasrah saja ya kalau terkena musibah :)

Travelling yang simple-simple saja, jangan rieweh
Karena saya selalu kehilangan barang saat travelling, saya nampaknya memang harus meminimalisir barang bawaan di ransel dan lebih berhati-hati dalam menjaganya. Sebetulnya saya lumayan simple dalam ber-traveling seperti dengan beralas kaki santai (sandal gunung) dan berpakaian serta berjilbab simple (tidak banyak peniti). Namun sepertinya saya mesti lebih banyak mengevaluasi barang yang saya bawa dengan apa yang dibutuhkan. Misalkan, sebagai orang yang hobby melukis saya selalu membawa sketchbook yang ukurannya lumayan besar, mungkin hendaknya saya membawa yang kecil saja. Selain itu kalau takut bau badan sebaiknya cukup membawa botol minyak wangi berukuran minimalis. Untuk urusan gadget, kita bisa men-charge baterai handphone/kamera dengan maksimal sebelum jalan-jalan dan tidak memakainya secara berlebihan agar tidak perlu membawa charger atau power bank yang kabelnya sering melintir ke sana-sini. Untuk yang hobby photography mungkin bisa mulai memilih photography device yang lebih nyaman dibawa misalnya dengan membawa kamera pocket instead of DLSR yang relatif lebih berat.

AGAIN, BE CAREFUL!
Travelling adalah hal yang menyenangkan walau kadang memang melelahkan. Tapi jangan sampai kelelahan membuat kita lengah. Ibu saya selalu menasehati saya untuk selalu mengecek barang bawaan saya kemanapun saya pergi. Meletakkan mereka di tempat yang mudah dijangkau adalah pilihan yang tepat terutama saat bepergian sendiri. Jika memang ingin menitipkannya kepada orang lain, maka titiplah kepada orang yang terpercaya atau tempat penitipan yang dirasa credible.
Untuk barang yang bersifat soft copy, kita bisa lebih berhati-hati dengan rajin mem-back up data-data penting tersebut ke tempat yang lebih aman seperti hard disc atau google drive dan drop box.

Everything happens for a greater reason, so STAY POSITIVE
"Ketika kehilangan dan diuji, apapun bentuknya, bersyukur dan ikhlas adalah cara tepat, terlebih lagi manfaatnya jiwa jadi tentram. Caranya? Ingat pesan Allah saja. 'Di balik kesusahan pasti ada kemudahan'. Dia tidak pernah mengingkari janji-Nya kepada kita, malah ditambah lagi, kalau kita bersyukur, nikmat kita akan ditambah
Ù„َئِÙ† Ø´َÙƒَرْتُÙ…ْ Ù„َØ£َزِيدَÙ†َّÙƒُÙ…ْ  
Jadi? Tanya hati, nikmat Tuhan manakah yang kau dustai?"
Di atas adalah kutipan caption foto di instagram saya saat kehilangan tas Oktober 2015 lalu. Sahabat saya pernah bilang bahwa segala yang kita alami adalah part of the life cycle  yang no matter what harus harus tempuh. Kehilangan dalam apapun bentuknya adalah suatu latihan untuk menghadapi kehilangan-kehilangan yang lebih menyakitkan seperti kematian orang terdekat atau kehilangan harta yang lebih banyak jumlahnya. Semua yang diamanahkan kepada kita pada akhirnya akan kembali kepada-Nya, maka tidak layak kita senang berlebihan apalagi bersombong ria.

Di saat ujian melanda, artinya kita sedang diingatkan untuk mengenang hal-hal yang mungkin selama ini salah atau lupa kita lakukan. Oleh karena itu, bermuhasabah/self reflection adalah penting. Namun ujian bukan untuk melemahkan kita, karena pasti ada hal indah yang tersembunyi di dalamnya. Saat saya menceritakan berita kehilangan saya kepada teman-teman, mereka ikut mendoakan bahwa nantinya segala kesusahan akan dibalas dengan kemudahan. Dan saya percaya itu.

------

Cerita ini saya tuliskan dengan maksud menasehati diri saya sendiri. Sangat membahagiakan jika secara tidak langsung tulisan ini bisa memberikan manfaat bagi teman yang membacanya. Semoga kita semua menjadi orang yang amanah atas segala pemberian dari Tuhan. Aamiin





Tuesday, April 19, 2016

My Pursuit of Dreams

When I was small (even until my middle school time), I never knew what I wanted to be in the future. I never got to choose my favorite school. All I knew was that my mom's choice would always be the best choice for me. And yeah, that's true tho. If she didn't pick the best ones for me, I wouldn't experience studying at the best schools in my hometown. I kept being "dependent" until one day I faced a very difficult situation: family financial crisis that made me urgently choosing either to continue my study to degree level (but I have to get scholarship) or working as a low paid government officer. This tough dilemma made me wondering if only I had enough money to pay for my university tuition fee, it wouldn't be this hard. Therefore I prayed to God to make me a business woman one day. However, as I grow up I furnished this dream of mine to be "A generous business woman" (Aaamiin).



Things got better when I got scholarship to study in Malaysia, hence Mom could save money to concentrate on developing her business. Her tough life experience has been shaping her ideas about perfect profession. I think a lot of parents out there prefer their children to have a job which provides stable income, so does my Mom. She always wants me to become a loyal employer who has a stiff work schedule, like becoming a government officer. Pension fund is one of the greatest reason why she wants me to do so. Therefore, during my study she always reminded me about one thing, "I don't mind if you love drawing or singing and having fun treasuring on your hobbies. But I dislike the idea of you being an artist in the future."

Art took a special position in my life when I was studying my degree in Real Estate Management. During class projects, I did more designing stuffs than calculating the value of properties. I got involved in several art communities rather than browsing about current real estate issues in Malaysia. However I tried to maintain my academic performance. I also experienced doing my internship program in one of the most renowned real estate consultancy company in Malaysia. 

 My roles as  aproject director in ERTI was one of the most memorable moment in my life

Well, it's never easy for me to tell Mom about my own version of great profession. Every person defines success differently. In her opinion, being a millionaire and working in an office is a dream job. For me who prefer works in active mobility, sitting in front of PC is definitely a boring job. I feel more driven when I do something that requires me to move my body freely, think creatively, and meet a lot of new people. But one thing that is a bit impossible for me to realize is I don't want to be anybody's employee, I wanna be a leader. These got me a lot to think, like A LOT. LOL

After graduated from UM I came back to that long and quite stressful self talking (again). Perhaps, many of people in their 20's will know how it feels. Gosh, I swear I hate this period of contemplation. Believe or not, I lost almost 10 kg last year (Should I be happy? LOL). At that very moment I also "lost" some friends. They were not exactly gone, but they were also trying to discover their own path. No body would like to be bothered during this period.
I had several options back then; continuing my master study, working in Real Estate Company in Dubai (my dream place), or building my own company. Before I decided what to do, I must make sure that whatever my choice is, that will take me to a happy life journey. Also, whatever my future job is, I must give great impact to my society. 

Proceed My Master Study
In my opinion, decision can only be made when we are able to see a long term impact of that decision in our life and our capacity to strive for it. Master study is not my No. 1 dream because I am not an academic kinda person. And I believed that without master degree anyone can get a good job. But I think, if only my late dad didn't get his bachelor degree, I wouldn't be much empowered to get higher education qualification. I wanna be like him, I wanna be a good example for my kids too! Moreover, education is always the best long term investment. Therefore, the next step that I set in pursuing this dream is to GET SCHOLARSHIP.

Working in Real Estate Company in Dubai
A lecturer of mine once introduced me to this guy who works in one of Dubai's prestigious real estate company. I don't know why, but I have this unique feeling about this City that made me writing its name in my dream book. Real Estate business in Dubai is exceptionally incredible. I was thinking if perhaps my degree can help me to generate capital which I can use for future business in Indonesia. 

Building My Own Company

Okay, this is the most challenging life choice that I could ever take. I love challenges, BUT what kinda business could I run? I am just an ordinary fresh grad with no money. After finishing my internship program, I had nothing to do. So I received some orders from some friends who wants to make customized business card with portrait drawing. Then I continued to draw Bangka Belitung postcards and sold them at the souvenir shops. I enjoy this job more than doing real estate project LOL. To enhance my skill, I learned graphic design at the very first time by the help of a friend. I could make some money out of it. Amazingly I couldn't stop creatively thinking about the next product innovation that I could create. But you know what? Mom asked me,"Do you really wanna waste your degree?" And I was like *^%&*^*$%^%$#

God, am I doing the right thing? What dream should I pursue first and which dream offers bigger deal over others? Again, I'm confused. Perhaps, some other people have the same problem too: knowing their dreams, but don't know how to achieve them. What I did was listening to people's opinion. Some said that doing our most passionate things will make the greatest decision while others said oppositely. They gave me new helpful insights. Eventhough as the result I decided to do those 3 things at the same time hahaha.

It was like gambling, but I keep forward. I believe that the red line will definitely come out of these complicated life story. I applied scholarship for master degree to reach my dream as an educated Mom for my children and to become future empowering "teacher" for my society. I continue doing my start-up business called Cikart and alhamdulillah things get better (I could hire some people to help me doing this small business). On the other hand, I tried to look for job in real estate firms including the one in Dubai. The result (not really the final one) was extremely exciting. Maybe God slowly answers my prayer to become a generous business woman. He didn't make me an employee at any real estate firms. Despites with my Mom's help (who at first disagreed with my life choice) I could make Cikart slightly bigger than what I've imagined. And as a bonus, I was awarded a full scholarship for MSc. in Entrepreneurship, Innovation, and Management in Nottingham University. 

It's not the end of my dream achieving story, yet it is the very beginning. LIFE IS BEAUTIFUL, isn't it?