Friday, September 30, 2016

My View on Ika Natassa's Books


Di tengah-tengah keharusan membaca segudang buku rekomendasi dari dosen, saya masih sulit move on dari segelintir buku Ika Natassa. Suatu accomplishment yang besar untuk seorang pemalas seperti saya bisa membaca 4 bukunya dalam jangka waktu setahun. Ada banyak point yang menggoda saya untuk berkontemplasi. Ah, paling sedap kalau berkontemplasi ditemani album Continuum-nya John Mayer yang syahdu membiru itu. Buku-buku Mbak Ika sangat membantu saya menjalankan New Year Resolution (harus selesai baca 20 buku dalam setahun, lulus setengahnya saja sudah bersyukur) dan menjawab sindiran Mbak Najwa Shihab tentang betapa menyedihkannya reading habit rate di Indonesia (saya malu jadi penyumbang peringkat rendah Indonesia dalam hal ini).

Saya tidak pandai memberikan review tentang buku yang saya baca, what I am trying to highlight here are my personal and general views about the story line from each book. Sejauh ini saya sudah membaca Critical Eleven, Architecture of Love, A Very Yuppy Wedding, dan Divortiare (on going reading: Twivortiare). Semua metropop karya Mbak Ika yang sudah saya baca had successfully playing with my mood rhythm. Beliau sangat cerdas mengulas tiap problema serta menaikrendahkan perasaan orang yang membacanya. Saya paling geram kalau menonton film dan membaca buku yang buat saya mikir panjang. Eventually, di situlah kualitasnya. Artinya yang di belakang layar dari masterpieces tersebut adalah orang-orang cerdas!

Semua yang ditawarkan dalam buku Mbak Ika memang soal permasalahan relationship. Tapi kekhasan yang paling kental saya observe adalah caranya melakonkan pribadi masing-masing peran. Seperti egoisnya perempuan yang minta laki-laki ambil sikap, dan how innocent a guy can be alias nggak peka. Mbak Ika sangat tahu ini masalah pokok di antara makhluk Mars dan Venus, tapi dia selalu apik memposisikan karakter tokohnya dalam cerita yang berbeda.

Dari hangatnya cerita cinta Andrea dan Adjie yang harus kucing-kucingan pacaran karena takut ketahuan boss mereka, sering juga saya mencak-mencak karena kesal betapa immature-nya Andrea bersikap. Tapi bukannya itu realita dari kebanyakan potret wanita yang ingin di-treat lelakinya dengan penuh perhatian? Tidak jauh beda dengan kisahnya Ale dan Anya yang rumah tangganya getir karena kalimat menyakitkan Ale ke Anya. Padahal, menarik banget awal mula mereka bisa bertemu di pesawat. Belum lagi cerita Alexandra dan Beno yang dingin. Sebenci-bencinya Alex terhadap mantan suaminya, move on itu terlalu sulit. Karena bukan kehadiran orang yang kita cintai yang paling dirindukan, tapi momen-momen sederhana yang tidak bisa hadir lagi. Lain lagi dengan cerita Raia dan River yang menggambarkan  sisi fragile tiap orang yang susah disembuhkan jikalau tidak berkeinginan untuk memaafkan kenyataan dan berusaha menyembuhkan satu sama lain.

Saya sering teracuni saat membaca pembelajaran yang dihidangkan di buku-buku tersebut. Yang paling saya suka adalah soal Counterfactual Thinking di novel Architecture of Love. We tend to create possible alternatives for what already happened in our lives. It's like endless hoping. We love to use the word "what if" for the things we kinda regret in the past. But it's useless. We couldn't help it, could we? The past was the past.

Ada juga yang saya pelajari dari A Very Yuppy Wedding: hiding is ridiculously complicated, and trust is built with a strong communication and transparency between the two. Konflik di antara Andrea dan Adjie mungkin bisa diminimalisir jika ada tendency untuk saling memberi dan memaafkan.

Mbak Ika sering mem-pinpoint -kan bahwa komunikasi adalah hal sakral dalam menjalin sebuah hubungan. Karena dari situlah terjalin rasa percaya. Besides, meminta diperlakukan sempurna saat tahu bahwa tidak ada yang sempurna adalah salah telak. Misalkan saja, meminta lelaki untuk peka itu bagaikan air susu dibalas dengan air tuba. Eh salah pribahasa wkwkw. Maksud saya, bagaikan punguk merindukan bulan, alias mustahil terjadi. Makanya perempuan harus mengerti dan berusaha memg-comprehend-kan hal itu. Bukannya kita diciptakan untuk saling melengkapi kekurangan satu sama lain? (Eaaak).

Dari novel Divortiare, yang saya petik adalah bahwa perpisahan tidak selalu bisa mengobati suatu masalah. Bahkan bisa timbul masalah baru yang sulit kita deal with, yaitu move on. Kita kadang terjebak dalam situasi yang memicu perpisahan. Padahal cinta jauh lebih besar daripada kesiapan kita untuk hilang dari bagian hidup satu sama lain.

Dari segelintir buku kurang ajar ini (please excuse my French wkwkw), saya berkonklusi bahwa cinta adalah sebuah kata kerja dan membutuhkan aksi nyata agar tetap langgeng. Relationship is the matter of giving your unlimited efforts to make the person you love happy. If you love the right person, you will get it in return. Please jangan tanya kapan saya bisa mengimplementasikan ini semua, karena yang penting saya sudah banyak bawa bekal dari buku-buku ini. When the right time finally comes I'll make sure that man will be the luckiest, hehe. Terima kasih Mbak Ika Natassa atas pesan-pesan berharganya, will definitely grab the rest of your books once I get back home.
Love presents along with vulnerability as its side effect. Yups, sometimes it doesn't make any sense at all. But I hardly take the love story which doesn't matter with the distance and only show meaningless effort from the two to be there for each other. Because for me, loving is a strong willingness to share mutual understanding by giving unlimited support. 

Sunday, September 25, 2016

A Little Glimpse of My Journey to England

Dalam suatu kompetisi bernyanyi, saya pernah berduet dengan sahabat saya Fajri menyanyikan lagu "A Whole New Wolrd" (sountrack film Aladin). Persis seperti liriknya "Unbelievable sights. Indescribable feeling", itulah yang sedang saya rasakan sekarang. Sudah lebih dari 2 minggu ini saya berada di a whole new different place called United Kingdom atau Inggris. Alhamdulillah, terbayar sudah mimpi yang pernah saya tuliskan di buku mimpi saya. Walaupun buku itu sempat saya tinggalkan karena tidak menerima kenyataan bahwa mimpi saya untuk pergi ke Kanada lewat PPAN kandas tahun lalu. But guess what? God has BETTER PLAN.

Beberapa waktu sebelum keberangkatan, saya dilanda emotional crisis. Saya bergulat dengan banyak sekali conflicted feelings sehingga harus merelakan bobot badan menyusut (sampai di UK langsung tembem lagi dong haha). Ada banyak hal yang membuat saya khawatir, sehingga lupa bahagia dan sering kebingungan. Sama kebingungannya ketika saya berada di pesawat dari Pangkalpinang menuju Jakarta. Sampai-sampai bapak-bapak di pinggir saya menoleh karena merasa aneh melihat badan saya stiff menatap monitor TV pesawat tanpa ekspresi dalam waktu yang lama. Saya bingung, kenapa saya di bandara tidak nampak emosional saat keluarga dan pacar menangis sendu mengantarkan saya. Oke, part yang pacar itu tidak benar adanya, wkwkwk. Perasaan aneh ini saya ajak tidur sampai tiba di Schipol Airport, Amsterdam untuk transit.

Bersama Bayu dan Ak Cecep di depan Trent Building, University of Nottingham

That Overwhelming Moment
The minute I saw the "Schipol Airport" sign from the airplane window during my transit in Amsterdam, I secretly whispered to myself, "Tanah Eropa, ya Allah. Tak ada pantas-pantasnya hamba dihadiahkan ini. Hamba selalu lupa bersyukur."
Itu adalah titik di mana saya ingat hal-hal sedih dan perjuangan yang saya lakukan yang sebetulnya masih jauh dari layak untuk dihadiahkan kebahagiaan seperti ini. Di detik itu pula saya ingat buku karya Pak Cik Ikal, 'Edensor' yang menceritakan tentang kisah anak melayu yang menuntut ilmu di tanah eropa. Saya juga mengingat betapa saya mengurungkan rasa excited berlebihan ketika menerima berita gembira kelulusan LPDP. Saya membatasi mencari tahu tentang hal menarik di Inggris, saya juga tidak begitu peduli dengan hal-hal penting yang harus saya comply di kampus University of Nottingham, bahkan saya tidak terlalu excited untuk packing sebelum berangkat. Bukan tanpa alasan saya mengurung rasa excited itu. Sebab, setelah gagal ke Kanada saya belajar bahwa life will be more deliberately exciting kalau saya tidak berlebihan dalam menanggapi suatu keberhasilan dan let life surprises us in the way we cant ever imagine. And now, see? I cry so joyfully meaningful saking bahagianya tidak berkespektasi tinggi hehehe. Eh, tapi dengan catatan ya, bahwa hidup itu tidak pasti, jadi kita harus terus berencana dan berjuang. Bukan menjalaninya dengan seenak perut wae, hehe.

Another overwhelming moment yang selalu bikin geli dan terharu adalah culture shock. Di Bangka saking panasnya kalau saya main ke pantai sebentar saja sudah bikin kulit belang-belang. Sedangkan di Nottingham yang sedang menjelang auntumn, saya kaget dengan suhu sekitar 9-15°C. Suhu seperti ini bikin nafsu makan meningkat dan kalau stamina tidak kuat bisa kena demam. Ada banyak kejadian yang buat saya merasa katrok, seperti saat salah kostum (baju ketipisan saat suhu rendah, lalu saya mesti kabur ke Primark buat beli sweater dadakan) dan tidak paham dengan apa yang dibilang mbak-mbak cashier bule sewaktu belanja groceries karena accent Nottingham-nya yang kental. Tapi ada yang paling berkesan, yaitu saat saya dan Bayu (housemate) sore-sore pulang dari kampus, dan dia bilang,"Eh, nafas kita berasap!". Dengan kampungannya saya histeris bilang,"Eh, iya Bay. Berasa banget kita lagi di Europe, ya.". "Ya emang!" Tukasnya. Lalu saya tertawa heboh sambil nyebuh-nyebuh nafas sendiri hingga Bayu suruh saya ketawa pelan-pelan. Sepertinya habis ini Bayu akan malu jalan bareng saya. Hahaha.

Kebahagiaan yang Berasal dari Doa-Doa Kecil
Hari-hari pertama di Inggris saya habiskan di London bersama Fajri. Saya kembali teringat tahun lalu mengantarkannya dan Widya (sahabat sejak dari SMA) untuk studi di Inggris sambil menyelipkan doa iseng,"Doakan aku menyusul kalian, ya". Itu uniknya hidup, kebahagiaan yang tercapai dari doa-doa kecil.

Tahun-tahun sebelumnya saya gemar menyelipkan doa-doa kecil untuk bisa menginjakkan kaki di tanah eropa. Salah satunya adalah lewat janji dengan teman. Dulu saya dan beberapa orang teman di Malaysia berkeinginan untuk travelling bersama ke eropa pada tahun 2016. Saya agak keberatan karena saya rasa saya belum akan makmur untuk travelling dengan uang sendiri dalam kurun waktu yang singkat. Lalu saya bilang ke mereka,"Hm, I am not sure if I can go to Europe in 2 years time. Because maybe I won't be financially independent. But let's see, maybe I can meet you guys there while studying". Itu doa iseng yang kedua.

Doa iseng ketiga yang saya ingat adalah waktu saya berjumpa Chef Norman Musa (a famous Malaysian Chef) setahun lalu. Saya dikenalkan oleh Kak Dya (fans Chef Norman) yang meminta saya melukiskannya. Chef bilang kalau lukisan saya di-display-nya di restoran "Ning" miliknya di Manchester. Lalu saya berkeinginan kalau nanti saya akan pergi ke sana untuk berjumpa kembali dengan karya saya itu. Pulang dari bertemu dengannya, saya langsung cari informasi seputar S2 di Inggris.

---

Selama di Inggris, honestly saya sedikit meninggalkan beban-beban moral di Bangka untuk mensyukuri kehidupan baru dan berkontemplasi. Di sini saya jadi semakin mengakui kebenaran bahwa Tuhan tidak pernah berbohong dengan janji-janji-Nya. Semakin pula saya sadar bahwa berdoa adalah kewajiban yang harus saya jadikan habit. Sebab doa adalah hal termudah yang bisa kita lakukan dan akan selalu di dengar oleh-Nya. The answers of our prayers? It's just the matter of timing. Mungkin sekarang, nanti, atau digantikan dengan yang lebih baik.

Ada yang berpesan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh seseorang, maka semakin besar pula tanggung jawabnya. It's not going to be an easy journey. Tapi Tuhan telah menitipkan amanah ini, dan semoga saya sanggup mengembannya. Terima kasih untuk semua yang telah mendoakan dan mendukung saya. Semoga teman-teman yang membaca ini dan berkeinginan untuk studi lebih tinggi dimudahkan jalannya untuk segera mengemban amanah baru. Aammin.